Monumen yang “hampir” kita lupakan
Di tengah gencarnya arus
informasi dan teknologi sekarang ini,
tentu bukan hal yang aneh jika banyak bermunculan mal-mal / pusat
perbelanjaan yang semakin memanjakan konsumen. Salah satunya adalah Hi Tech
Mall Surabaya yang menjadi “rujukan” kebutuhan barang-barang elektronik
(komputer) di Surabaya dan Indonesia timur. Berbagai macam kebutuhan teknologi
komputer akan dapat kita temukan di sana. Namun, jika anda sempat berkunjung ke
sana cobalah sempatkan diri anda untuk berkunjung ke THR yang berada di bagian
belakan Hi Tech Mall. Anda akan melihat sebuah monumen / patung perunggu yang
ada di belakang pintu masuk. Barangkali bagi remaja saat ini, banyak yang tidak
mengenal tokoh seniman tersebut. Yah...ini bisa dimaklumi karena gencarnya promo penyanyi-penyanyi asing,
sehingga bagi remaja saat ini mungkin banyak yang belum mengenalnya.
Yah....itulah monumen untuk
mengenang seorang seniman Surabaya yang pernah menjadi “icon” di jamannya
karena kesederhanaan dan lagu-lagunya. Itulah Gomboh. Seorang seniman sejati
asal Surabaya. Gombloh lahir dengan nama lengkap Soedjarwoto Soemarsono tanggal
14 Juli 1948 di Jombang, merupakan seorang seniman asal Surabaya yang pernah
menjadi inspirasi bagi seniman-seniman muda Surabaya untuk tetap berkreasi
dengan lirik-lirik unik dan merakyat ditengah gencarnya lagu-lagu “cengeng”
saat itu. Lagu-lagunya banyak bercerita kritik sosial, alam juga rasa cinta
negeri, seperti misalanya “Kebyar-Kebyar” yang dirilis pada tahun 1979, dan
sering diputar menjelang peringatan 17-an.
Monumen ini memang dibuat untuk
mengenang sang legenda tersebut. Namun, sangat disayangkan karena lokasi
monumen itu sudah mulai “terjepit” dengan banyaknya cafe-cafe penjual makanan
yang menjamur di sekitarnya. Gombloh
memang unik, baik dari lirik lagunya maupun penampilannya yang selalu tampil
bersahaja, bukan hanya di atas panggung namun juga kesehariannya. Ini sangat
kontras dengan penyanyi penyanyi sekarang yang banyak mengumbar sensasi dan
kemewahan. Tidak salah jika saya menjulukinya sebagai seniman yang “langka”. Bahkan
sebuah radio swasta di Surabaya (Radio Suzana) pernah mengadakan lomba mirip Gomploh.
Pada tanggal 30 Maret 2005 dalam acara puncak Hari Musik Indonesia III di
Jakarta, Gombloh mendapat penghargaan Nugraha Bhakti Musik Indonesia secara
anumerta dari PAPPRI.
Gombloh dilahirkan sebagai anak
ke-4 dari enam bersaudara dari keluarga Slamet dan Tatoekah. Slamet adalah
seorang pedagang kecil yang hidup dari menjual ayam potong di pasar tradisional
di kota mereka. Gombloh bersekolah di SMA Negeri 5 Surabaya dan sempat
berkuliah di Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember, (ITS)
Surabaya, namun tidak diselesaikannya dan memilih nalurinya untuk
bermusik
Yang selalu menjadi pertanyaan
saya dalam hati, masih adakah seorang seniman sejati seperti beliau yang
bersahaja, tidak seperti kebanyakan seniman sekarang yang banyak mengumbar
sensasi, kemewahan, dan perilaku yang tak pantas ditiru. Semoga karya-karya
Gombloh bisa menjadi inspirasi bagi seniman-seniman muda yang pintar dan berwawasan
luas.
Gombloh (lahir di Jombang, Jawa Timur, 14 Juli 1948 –
meninggal di Surabaya, Jawa Timur, 9 Januari 1988 pada umur 39 tahun).
No comments:
Post a Comment